Masa Depan Bangsa Yang Berkarakter

 Roni Umbu Muda, S.Pd
Widyaprada Ahli Madya BP PAUD dan Dikmas Prov. NTT

Pendahuluan

Pendidikan yang karakter merupakan keharusan yang mutlak diwujudnyatakan dalam meraih tujuan dan fungsi pendidikan itu sendiri. Mengkarakterkan pendidikan bagi semua orang harus menjadi tujuan utama, sebab pendidikan karakter bermuara pada pembentukan manusia yang berwatak,cerdas dan berakhlak mulia. Hal senada juga dikatakan oleh Socrates bahwa tujuan paling mendasar pendidikan karakter adalah membuat manusia good dan smart . seorang penyair Arab Syauqi Bey pernah berkata bahwa “Sesungguhnya kejayaan suatu umat (bangsa) terletak pada akhlak/karakternya. Jika itu telah runtuh, maka runtuh pulalah bangsa itu.” Jika kita perhatikan pendapat Socrates dan penyair Arab ini maka sungguh sangat relevan dengan hadist Rasulullah bahwa “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan budi pekerti (HR Ahmad).” Ciri dasar yang membedakan dengan makhluk lainnya (termasuk binatang) adalah akhlak. Jika akhlak/karakter manusia sama dengan akhlak/karakter binatang maka dapat dibayangkan seperti apa gerangan yang terjadi di muka bumi ini padahal manusia ditakdirkan sebgai khalifatullah, yaitu sebagai pembawa dan pelaksana amanah untuk mewujudkan “sifat-sifat” ketuhanan di atas bumi ini.

Indonesia sebagai salah satu Negara di atas bumi ini menganut paham ketuhanan, sebagaimana tercantum dalam Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, selain sila kemanusiaan, persatuan, demokrasi/musyawarah, dan keadilan sosial.

Apabila akhlak atau karakter dalam sila-sila Pancasila tersebut diperhatikan dan dibandingkan dengan realitas sosial, ternyata memang banyak terjadi penyimpangan atau ketidaksesuaian antara teori dan praktek dalam bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Hal ini menimbulkan pertanyaan apa gerakan yang menyebabkan hal tersebut terjadi? Apa dampak yang akan terjadi? Dan bagaimana solusinya agar penyimpangan tersebut dapat diatasi?

 

  1. Gambaran karakter dan Pendidikan Karakter

Karakter berasal dari bahasa latin “kharakter”, “kharassein”, “kharax”, dalam bahasa Inggris “character” dan Indonesia “karakter”, Yunani “character” (dari charassein) yang berarti membuat tajam, membuat dalam. Dalam kamus Poerwadarminta, karakter diartikan tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Selanjutnya, karakter menurut Ryan dan Bohlin mengandung tiga unsure pokok yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good) dan melakukan kebaikan (doing the good) (Abdul Majid dan Dian Andayani, 2011). Hal yang sama dengan pandangan ini adalah Thomas Lickona yang menyatakan bahwa pendidikan karakter yang baik, harus melibatkan bukan saja aspek “pengetahuan yang baik” tetapi juga “merasakan dengan baik” atau loving good (moral feeling), dan “perilaku yang baik”. Jadi pendidikan karakter erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dipraktikkan dan dilakukan.

Yang menjadi fenomena saat ini yaitu dengan iptek yang canggih tetapi sangat disayangkan hanya karakter yang sedikit, akibatnya terjadilah permasalahan di berbagai lini kehidupan yang berdampak kepada kerugian, penderitaan dan bencana sosial lainnya. Untuk itu perlu melihat lebih jauh lagi substansi karakter tersebut sebagaimana yang diungkapkan Thomas Lickona dan Ryan/Bohlin.

Knowing of good atau moral memiliki enam unsur (yang harus diajarkan kepada peserta didik untuk mengisi ranah pengetahuan), yaitu: 1) kesadaran moral; 2) Pengetahuan tentang nilai-nilai moral; 3) Penentuan sudut pandang; 4) Keberanian menentukan sikap; dan 6) Pengenalan diri.

Sedangkan terkait dengan moral loving atau loving the good adalah penguatan aspek emosipeserta didik untuk menjadi manusia berkarakter, yang meliputi: 1) Percaya diri; 2) Kepekaan terhadap derita orang lain; 3) Pengendalian diri; dan 4) Kerendahan hati.

Sementara yang terkait dengan moral doing atau doing the good adalah bagaimana membawa diri atau peserta didik dalam berinteraksi antara satu sama lain dalam lapangan social, dalam arti bagaimana mengimplementasikan terhadap apa yang diketahui dan dicintai yang terkait

dengan kebaikan-kebaikan. Tentunya yang diharapkan disini adalah bagaiamana diri sendiri atau peserta didik memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada orang dalam pergaulan social.

Permasalahan selanjutnya bagaimana penjabaran butir-butir karakter yang dianggap baik dan diterima oleh banyak kalangan. Dalam hal ini memang tidak bias dihindari adanya banyak pandangan. Indonesia Heritage Foundation merumuskan karakter dasar yang menjadi tujuan pendidikan karakter, yaitu: 1) Cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya; 2) Tanggungjawab, disiplin, dan mandiri; 3) Jujur; 4) Hormat dan santun; 5) Kasih sayang, peduli dan kerja sama; 6) Percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah; 7) keadilan dan kepemimpinan; 8) Baik dan rendah hati.

Secara garis besar maka tujuan dari pendidikan karakter adalah mengembangkan potensi, membiasakan perilaku yang terpuji, menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab, mengembangkan sikap mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan, dan mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan peserta didik yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan serta rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh (Kansil, 2011).

Salah satu pandangan dari Mahatma Gandhi menarik untuk dijadikan sebagai salah satu bahan untuk mencoba menilai salah satu atau beberapa penyebab munculnya masalah pudarnya karakter. Menurut Mahatma Gandhi bahwa ada 7 dosa yang mematikan (the sevent deadly sins) yang secara makro mungkin dapat menghilangkan karakter, yaitu:

  1. Semakin merebaknya nilai-nilai dan perilaku memperoleh kekayaan tanpa bekerja (olah hati)
  2. Kesenangan tanpa hati nurani (olah hati)
  3. Pengetahuan tanpa karakter  (olah rasa)
  4. Bisnis tanpa moralitas (olah rasa)
  5. Ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan (olah rasa)
  6. Agama tanpa pengorbanan (olah rasa)
  7. Politik tanpa prinsip (olah hati)

Memperhatikan pendapat Mahatma Gandhi tersebut, maka secara umum melemahnya karakter disebabkan oleh masalah olah hati dan olah rasa. Kalau dilihat secara komprehensif sesuai pola yang dikembangkan Kemdikbud, seharusnya juga penyebab hilangnya karakter karena olah fikir dan olah raga (Puskurbuk, 2011).

Menurut pengamatan saya, ada beberapa hal mengapa karakter itu menjadi pudar karena adanya keterbelakangan dari keempat olah tersebut yang manifestasinya bias beragam dalam berbagai kontek politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Rumusan dari Mahatma Gandhi tersebut hanyalah merangkum beberapa penyebab saja. Bagi bangsa Indonesia, hal itu bias disebabkan juga antara lain karena:

  1. Rendahnya pemahaman dan implementasi nilai-nilai agama
  2. Adanya distorsi pemahaman dan disorientasi dalam implementasi nilai-nilai Pancasila
  3. Berubahnya nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
  4. Memudarnya kesadaran nilai-nilai budaya bangsa seiring perkembangan globalisasi
  5. Lemahnya keteladanan dan metode dalam pendidikan karakter diberbagai lingkungan, baik di sekolah, rumah tangga maupun masyarakat luas.

Hal tersebut perlu segera dicarikan solusi secara sistematis agar tidak berdampak lebih luas di dalam masyarakat sebab jika tidak ditemukan solusinya, secara makro akan berdampak pada ancaman ketertinggalan bangsa, bahkan bisa berakibat fatal terhadap keberlangsungan bangsa. Dalam jangka pendek, dampak yang sangat terasa adalah tidak efisien dan efektifnya pembangunan bangsa sebab hasil-hasil pembangunan yang diperoleh akan terdistorsi sendiri akibat kemunduran karakter itu sendiri. Sedangkan dalam skala mikro, dampak nyata dari lemahnya karakter tersebut di bidang pendidikan seperti rendahnya mutu pendidik dan peserta didik yang mengakibatkan mutu pendidikan rendah.

Untuk mengatasi, mengembangkan dan membangun karakter dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam bidang pendidikan, dapat dilakukan dalam berbagai aktivitas, antara lain:

  1. Membiasakan hidup dan perilaku sesuai ajaran agama masing-masing
  2. Membudayakan kepedulian social
  3. Melindungi dan menjaga hubungan baik
  4. Mengembangkan sifat berbagi, bekerja sama dan adil
  5. Mengedepankan sifat jujur
  6. Mengedepankan emoral dan etika
  7. Mampu mengontrol dan introspeksi diri
  8. Pribadi yang suka menolong dan membantu orang lain
  9. Menghargai waktu dan mengisinya secara maksimal
  10. Mampu menyelesaikan masalah dan konflik sosial

 

Pustaka

Warta Hukum dan Perundang-Undangan Volume 12, Desember 2011 Oleh

Andi Pangerang Moenta, “Urgensi Pendidikan Karakter Bagi Masa Depan Bangsa

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Statistik Pengunjung

5.png2.png4.png0.png8.png7.png
Today209
Yesterday569
This week1693
This month15899
Total524087

Who Is Online

3
Online